Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, pendidikan tinggi yang berkualitas ditandai oleh kemampuan lulusan untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja, menciptakan lapangan kerja baru, atau mengembangkan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan perkembangan pengetahuan global. Lulusan perguruan tinggi diharapkan tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan, teknologi atau seni pada bidang tertentu, tetapi juga menguasai ketrampilan tambahan seperti, kemampuan berkomunikasi secara efektif, kemampuan berpikir logis, kemampuan belajar, dan lain-lain, atau sering disebut sebagai soft skills. Dengan kata lain lulusan perguruan tinggi di Indonesia diharapkan menjadi pribadi yang memiliki kualitas penguasaan IPTEK yang tinggi dan didukung oleh jiwa kepemimpinan, akhlak mulia, dan watak demokratis, sehingga mampu menghadapi tantangan dan persaingan antar bangsa.
Cita-cita mulia itu terlihat kontras dengan situasi kehidupan mahasiswa dewasa ini. Survei yang dilakukan oleh Widianingrum (2012) terhadap 221 mahasiswa yang direkrut secara acak menunjukkan bahwa satu dari empat mahasiswa mengalami tingkat stress sedang, sementara hampir 4 % menunjukkan tingkat burnout yang tinggi. Sebanyak 12 % dari 217 responden mahasiswa dalam penelitian Anisah (2012) menunjukkan gejala kecemasan yang cukup tinggi, dan sekitar 40 % dari 194 responden mahasiswa dalam penelitian Pratiwi (2012) menunjukkan gejala-gejala depresi. Temuan penelitian-penelitian lapangan ini sejalan dengan data yang pada layanan konsultasi psikologi di Gadjah Mada Medical Center (GMC). Menurut analisis yang dilakukan oleh Utami (2011), klien-klien yang dilayani di GMC sebagian besar menunjukkan masalah-masalah terkait dengan perasaan kurang bersemangat, tertekan, gangguan konsentrasi, perasaan bingung, kesulitan tidur, putus asa, dan dorongan mengakhiri hidup, bahkan pada beberapa kasus telah terjadi percobaan bunuh diri oleh mahasiswa. Beberapa kasus tindak bunuh diri oleh mahasiswa sempat terlaporkan di media massa, seperti yang terjadi di Makassar dan di Jakarta pada sekitar bulan September 2011. Namun dapat diyakini bahwa yang terungkap di dalam media massa hanyalah sebagian kecil dari luasnya masalah-masalah kesehatan mental mahasiswa kita.
Bila dicermati secara mendalam, masalah-masalah kesehatan mental pada mahasiswa bersumber pada aspek akademis maupun non-akademis, dan dari faktor internal maupun eksternal mahasiswa. Masalah-masalah akademis terutama disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan studi, misalnya akibat salah memilih jurusan, metode pembelajaran yang berbeda dengan SMA, cara dosen mengajar, tugas perkuliahan, masalah-masalah dalam pengerjaan skripsi, dan kehawatiran terhadap karier dan masa depan. Permasalahan non-akademis terutama berasal dari tekanan sosial yang dialami mahasiswa sehari-hari seperti permasalahan yang terkait engan keluarga, misalnya karena tinggal terpisah dari keluarga, kondisi keuangan keluarga, riwayat pola pengasuhan asuh dari orangtua, perbedaan prinsip dengan orang tua. Selain itu masalah-masalah yang bersumber dari kehidupan di pondokan, hubungan perteman dengan latar belakang sosial dan budaya yang berbeda, kesulitan adaptasi umum, masalah dalam hubungan lawan jenis, serta masalah di dalam organisasi dan kegiatan kemahasiswaan sering merupakan sumber permasalahan yang serius bagi mahasiswa.
Masalah-masalah psikologis dalam proses belajar di perguruan tinggi merupakan sesuatu yang tidak dapat sepenuhnya dihindari. Untuk itu diperlukan komitmen dari Perguruan Tinggi untuk menyediakan sarana pendukung untuk menekan sebanyak mungkin dampak negatifnya, dan bahkan untuk meningkatkan kemampuan pribadi mahasiswa untuk menghadapi tantangan dan beban dalam proses belajar tersebut. Beberapa perguruan tinggi di Indonesia telah memiliki sarana pendukung yang memadai untuk menangani masalah, dan mengembangkan potensi, kesehatan mental mahasiswa. Sarana pendukung tersebut diantaranya berbentuk sebuah Badan Konsultasi Mahasiswa atau Unit Konsultasi Psikologi. Di luar sarana konsultasi psikologi, Perguruan Tinggi juga perlu menerapkan kebijakan-kebijakan di sektor akademis dan non-akademis yang kondusif terhadap pengembangan kesehatan mental dan karakter mahasiswa.
Komitmen terhadap pembangunan kesehatan mental dan karakter mahasiswa perlu dilandasi oleh pemahaman yang mendalam tentang aspek-aspek akademis maupun praktis dari kebijakan kemahasiswaan. Untuk itu Center for Public Mental Health, Fakultas Psikologi UGM, mengembangkan program Workshop “Mewujudkan Kampus Indonesia Sejahtera” sebagai sarana bertukar pemikiran dan pengalaman di bidang program-program kemahasiswaan. Di dalam program workshop ini akan dihadirkan akademisi yang mendalami isu-isu kesehatan mental mahasiswa, maupun pejabat dan mantan pejabat pembuat kebijakan kemahasiswaan di Perguruan Tinggi yang ternama. Melalui proses workshop interaktif selama 16 jam, para peserta akan mendapatkan kesempatan untuk menerapkan wawasan akademis dan praktis tersebut dalam situasi kemahasiswaan yang dihadapi di tempat kerjanya.