Disabilitas sebagai Beban
Gangguan jiwa adalah sebuah disabilitas dan beban yang harus dipikul oleh penderita dan keluarganya. Beban tersebut cukup berat, bahkan bisa membuat keadaan ekonomi sebuah keluarga mengalami penurunan. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa bila sebuah keluarga tidak lagi sanggup menanggung beban tersebut, penderita gangguan jiwa akan dipasung atau dilepas menjadi gelandangan psikotik. Oleh karena itu, diperlukan kehadiran negara dan dukungan masyarakat agar beban tersebut tidak hanya ditanggung oleh seorang penderita gangguan jiwa dan keluarganya. Kehadiran negara sangat diperlukan, namun peran negara yang terbatas dirasa tidak cukup, maka masyarakat juga perlu ikut turun tangan. Masyarakat perlu ikut berperan dan bekerjasama dengan pemerintah dan keluarga penderita. Dengan dasar pemikiran itulah, Tirto Jiwo didirikan.
Pendekatan Komprehensif
Dalam mendukung proses pemulihan dari gangguan jiwa, Tirto jiwo memakai pendekatan medis, psikososial dan spiritual. Pendekatan medis dilaksanakan oleh psikiater dan tim dari Rumah Sakit Umum Daerah Tjitro Wardojo dan Rumah sakit Islam Purworejo. Biaya untuk pelayanan medis ini ditanggung oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Purworejo. Perihal pembiayaan ini, dukungan dari BPJS Kesehatan sangat terbatas karena berbagai alasan. Hal ini penting untuk disampaikan karena komponen biaya pelayanan medis memegang porsi yang cukup besar.
Pelayanan yang dilakukan langsung oleh Tirto Jiwo bersifat psikososial dan edukasi serta dukungan pelayanan spiritual. Pelayanan tersebut diberikan untuk melengkapi pelayanan medis. Berdasarkan pengamatan dan berbagai temuan ilmiah, pelayanan medis tersebut memang diperlukan, tetapi tidak cukup hanya pelayanan medis saja. Pelayanan psikososial dan spiritual diperlukan agar para penderita gangguan jiwa bisa kembali hidup bersosial dan produktif di masyarakat. Terapi yang tidak kalah penting adalah pelatihan vokasional. Penderita gangguan jiwa perlu mendapat pelatihan keterampilan agar bisa kembali produktif dan menghasilkan sesuatu di masyarakat. Bentuk pelatihan vokasional, idealnya diikuti dengan magang. Sayangnya, kegiatan magang masih sulit diterapkan di Indonesia pada saat ini. Kondisi ekonomi negara memang lagi kurang kondusif bagi pengembangan bisnis. Terutama saat ini, ketika resesi sedang melanda.
Sistem Pembiayaan Kesehatan.
Karena keterbatasan dana dari Pemerintah Daerah maupun BPJS Kesehatan, pelayanan rawat inap bagi penderita schizophrenia yang sedang kambuh dan membahayakan diri sendiri maupun orang lain, hanya diberikan selama 2-3 minggu. Padahal, pelayanan bagi penderita dengan kondisi seperti itu memerlukan paling tidak 6-8 minggu pelayanan rawat inap. Akibatnya, beban merawat pasien yang masih berada dalam keadaan gelisah dan terganggu, menjadi beban keluarga atau panti rehabilitasi gangguan jiwa, seperti Tirto Jiwo. Kondisi tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi panti rehabilitasi jiwa.
Tantangan
Tantangan lain yang dihadapi panti rehabilitasi gangguan jiwa berbasis komunitas adalah terbatasnya daya beli masyarakat serta rendahnya keinginan untuk membayar bagi pelayanan gangguan jiwa dari keluarga maupun masyarakat. Penderita gangguan jiwa jelas tidak mampu secara ekonomi. Pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan selalu ditanggung oleh pihak lain (keluarga, masyarakat atau negara). Artinya, panti rehabilitasi jiwa, khususnya yang berada di kota kecil, tidak bisa mengandalkan pemasukan dari keluarga pasien untuk menutup biaya operasionalnya. Dukungan dari pemerintah maupun dermawan sangat diperlukan.
Tantangan di lapangan yang juga tidak kalah penting adalah masalah kenakalan dan kekerasan di kalangan remaja, termasuk penyalahgunaan obat. Akhir-akhir ini, berita tentang tawuran antargeng dan penjarahan oleh anggota geng motor semakin sering muncul di koran, media masa, maupun di media sosial. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa gangguan mental emosional sering melatar belakangi munculnya kenakalan remaja dan penyalahgunaan alkohol dan obat terlarang (NAPZA). Oleh karena itu, kenakalan remaja dan penyalahgunaan obat merupakan salah satu ranah pelayanan kesehatan jiwa.
Saat ini, Tirto jiwo sedang menerapkan sebuah program yang kami beri nama Thinking For Change (T4C). T4C adalah sebuah grup terapi bagi anak-anak binaan pada Lembaga Pembinaan khusus Anak kelas I di Kutoarjo. Kami mencoba mengubah perilaku kriminal dengan memakai pendekatan terapi perilaku kognisi yang disesuaikan dengan kebutuhan pola pikir kriminal. Program T4C terdiri atas 3 komponen, yaitu: (1) mengubah pola pikir kriminal, (2) pelatihan keterampilan sosial, dan (3) pemecahan masalah. Bagi yang berminat tentang Program T4C, silahkan kunjungi website Jasa Sehat di https://www.jasasehat.com.
Dilema
Dilema utama bagi panti rehabilitasi gangguan jiwa adalah kurangnya kemampuan keluarga dalam memberikan pelayanan bagi anggota keluarganya yang menderita gangguan. Seringkali ditemukan kejadian seperti pasien yang kembali kambuh tidak lama setelah dipulangkan ke keluarganya. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan dan keterampilan keluarga dalam merawat penderita gangguan jiwa. Kasus yang sering muncul di Tirto Jiwo adalah pasien sudah boleh pulang atau kembali ke rumah, namun keluarga menolak karena alasan tidak mampu merawat penderita. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah perlu menggalakkan kader kesehatan jiwa untuk terjun membantu keluarga yang anggota keluarganya menderita gangguan jiwa.
Kemampuan pemerintah maupun kader kesehatan jiwa terbatas. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat agar mereka mampu secara mandiri mengatasi berbagai permasalahan kesehatan jiwa masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan menyusun berbagai lembar kerja atau pedoman pelayanan swadaya. New Zealand merupakan contoh negara yang pemerintahnya telah menyusun pedoman bagi pecandu NAPZA yang ingin terbebas dari kecanduan secara mandiri. Berbagai pedoman tentang pengobatan atau pelayanan swadaya (self-help) juga banyak beredar di internet.
Dalam menyingkapi dan menghindari anak dengan gangguan dan masalah perilaku, pemberdayaan orang tua sangat diperlukan, bertujuan agar orang tua mampu mendidik anaknya dengan baik. Keluarga adalah benteng yang paling penting dalam mencegah maupun mengobati kenakalan remaja, remaja yang terlibat dalam tindakan kriminal, termasuk penyalahgunaan obat. Untuk itu, berbagai media sosial yang ada perlu dimanfaatkan sebagai sarana untuk menyebarluaskan pemahaman tersebut diatas.
Saya kira ini adalah tantangan untuk para psikolog. Jangan menunggu pemerintah turun tangan. Pemerintah sudah sibuk dengan masalah ekonomi, pendidikan maupun masalah sosial lainnya. Ini adalah peluang bagi para psikolog untuk berkiprah. Para psikolog perlu meniru Google, Microsoft, Zoom, dan perusahaan digital lainnya. Berbagai perusahaan tersebut mampu memberikan pelayanan berkualitas tinggi namun gratis kepada masyarakat. Secara pribadi, menurut saya para psikolog juga mampu menciptakan sebuah inovasi jika memiliki keinginan dan kegigihan.
Penulis : dr. Gunawan Setiadi, MPH (Pembina Tirto Jiwo dan Direktur Jasa Sehat, aplikasi terapi online masalah psikologi, kesehatan dan kehidupan)
(website : https://www.tirtojiwo.org)